Upacara adat Mboyong Lumpang ini termasuk salah satu acara sakral bagi warga Onggopatran, Srimulyo. Oleh karenanya hampir seluruh warga yang berada di empat desa tumpah ruah mempersiapkan kelancaran upacara ini. Sedari pagi hari warga ramai-ramai menghias kampung mereka dengan beragam umbul-umbul yang berwarna warni. Anak-anakpun tidak mau ketinggalan, mereka sibuk membuat topeng daun untuk dipakai pada saat kirab lumpang dan para wanita desa mempersiapkan makanan dan minuman yang akan disajikan.
Keberadaan Lumpang atau alat penumbuk padi yang berasal dari batu alam tersebut sudah ada di Padukuhan Onggopatran sejak dahulu dimana tiga generasi leluhur Padukuhan Onggopatran masih ada. Dan Lumpang tersebut pada awalnya ditemukan oleh warga di dasar sungai kecil tepat dekat mata air yang mengaliri pedukuhan. Lumpang ini dapat dikatakan sakral dan penuh sejarah akan tetapi tidak diopeni (dirawat) dan sejak beberapa tahun belakangan ini hanya didiamkan di pinggir sungai dan tertutup oleh semen dan dedaunan saja. Ada yang pernah memakainya sebagai pennumbuk padi akan tetapi beberapa kali dinaikan ke desa, Lumpang ini pasti kembali lagi ke pinggir sungai. Lumpang yang bernama Genduk Tentrem ini berukuran diameter sekitar satu meter dengan berat hampir 500 kilogram tersebut akhirnya diputuskan untuk diangkat untuk yang terakhir kalinya dan dijadikan sebagai monumen pertanda desa.
Dibutuhkan sekitar 20 orang pria dewasa untuk melaksanakan prosesi Mboyong Lumpang secara bergantian. Bermula dari pinggir sungai untuk dimandikan dan dinyanyikan tembang Jawa untuk keberkahan oleh para sesepuh. Dan setelah itu diboyong atau digotong ramai-ramai dengan kirab menuju pintu masuk pedukuhan. Sesepuh dari empat dusun yaitu Dusun Pranti, Onggopatran, Mancasan, dan Blonotan berkumpul untuk mengadakan doa agar Lumpang tersebut dapat dipindahkan dan dijadikan monumen desa.