Ada beberapa versi mengenai asal-usul kampung Pandeyan. Bedasarkan versi yang berkembang di masyarakat, nama Pandeyan berasal dari kata Pande yang artinya sebutan orang yang memiliki ketrampilan untuk membuat berbagai peralatan seperti belati, pisau, pedang, tombak, mata bajak, sabit, bahkan perangkat gamelan Jawa yang terbuat dari besi atau perunggu. Dulu di kampung ini sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai pande besi dan sebagian kecil bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, prajurit dll. Sehingga karena banyaknya pande-pande besi yang terkenal untuk menghormatinya maka gang-gang di kampung ini diberi nama Empu Suro, Supo, Panuluh, Gandring, Sedah, dll.
Memang tidak bisa menemukan bukti nyata (konkrit) seperti temuan-temuan sabit, pisau, pedang, dll yang pernah dibuat oleh warga Pandeyan ini. tetapi bila menggali lebih dalam sumur akan mendapati air yang tidak jernih, berwarna coklat tembaga dan mengandung zat besi, seperti pada sumur di wilayah Sang Timur dan sebagian besar sumur milik warga. Dan keahlian ini sempat disalurkan para warga dalam pembuatan gamelan setelah gempa 27 Mei 2006 yang lalu.
Versi lain mengatakan bahwa terbentuknya kampung Pandeyan tidak ada hubungan langsung dengan pekerjaan sebagai tukang pandai besi. Dulu pada tahun 1950-an (sebelum sistem otonomi desa) secara administratif Pandeyan merupakan wilayah kabupaten Bantul. Kemantren (setingkat Kecamatan) Umbulharjo dulu terdiri dari 4 RK, yakni; Warungboto, Tahunan, Mujamuju dan Pandeyan. Pada tahun 1980, RK Pandeyan berubah menjadi Kelurahan bedasarkan UU no. 5 tahun 1979 tentang perubahan sistem Tata Pemerintahan Desa dan yang menjabat sebagai lurah pertama Pandeyan adalah Bapak Alipar. Pada saat itu kampung Pandeyan masih dikelilingi oleh persawahan dan masih kental dengan budaya petani seperti ani-ani dan wiwitan (ucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil padi yang melimpah yang diwujudkan dengan pemberian nasi pincuk dengan lauk ala kadarnya kepada masyarakat sekitarnya). Budaya itu semakin memudar apalagi semenjak dibangun terminal bus Umbulharjo di sekitar wilayah tersebut. Banyaknya pendatang yang masuk ke kampung ini menjadikan kawasan perumahan berkembang sangat pesat dan menggusur lahan pertanian. Perbedaan status sosial antara pendatang dan orang asli semakin lebar. Apalagi para pendatang membangun rumah dari beton dan dilengkapi pagar semakin membedakan dengan warga kampung asli Pandeyan, yang masih hidup dalam sistem kegotongroyongan yang masih kental dan secara sosial-ekonomi semakin tersisihkan. Kebanyakan warga asli menghuni kampung dibalik jalan-jalan besar dan tersembunyi dari penglihatan luar.
Belum ada atraksi